Kembali ke 7

by - Saturday, July 25, 2020

Kembali ke 7 - Sebenarnya, ini itu cerita pendek yang aku buat waktu base idm opfoll dan syaratnya harus buat cerita pendek yang berhubungan sama angka 7. Dan akhirnya, aku buat cerita pendek ini. Jadi, aku mau share juga di blog hehe. Kebetulan inget pernah buat ini pas lagi rapihin notes di hape. Tapi, ceritanya aku modif dikit pake beberapa penambahan kata atau kalimat. Isi cerita tetap sama kayak yang aku ceritain via Twitter hehe.

Ceritanya tentang seseorang yang pernah mencoba untuk pergi, tapi kembali lagi karena tahu itu adalah rumah. Tempat yang selalu menunggu dan menerima kita untuk kembali.

So, let's begin!

--

Hembusan angin masih tetap berasa sama di sekitar sini. Hanya saja, kurasa ada banyak beberapa tetangga yang tidak lagi kukenali. Tempat ini mencolok dengan sendirinya karena terlihat sudah tua dibanding tempat-tempat di sekitar yang terlihat lebih baru.

Ku tundukkan pandanganku ke bawah. Dan yaa, akhirnya, aku kembali menapakkan kakiku ke sini. Aku terdiam dan melihat pijakan kakiku. Jujur saja, aku masih tak sanggup untuk melihat ke depan. Ku hembuskan nafasku dengan perlahan lalu melihat ke arah pagar kayu yang bertuliskan angka 7.

Angka yang saat ini menjadi favoritku dan menjadi angka yang memiliki banyak kenangan baik untuk diingat. Tapi, karena pernah membenci angka 7, aku sedikit malu menatap nomor tersebut yang ada di depanku.

Saat ku lihat ke dalam pagar, suasananya tetap terlihat sama seperti saat terakhir aku melihatnya. Tenang dan menyejukkan. Satu pemikiran terlintas di pikiranku. Aku sendiri tak paham kenapa aku dengan beraninya pergi meninggalkan tempat ini.

Setelah berpikir sedikit karena ragu saat akan memasukinya, akhirnya ku buka pagar kayu yang sedari tadi kupandangi. Aku pun melangkah dan melihat keadaan sekitar. "Ah, ternyata rumput di sini semakin tinggi. Pohon di sana juga terlihat sudah tumbuh menua.”

Semakin jauh langkahku dari pagar, tak terasa sekarang aku sudah semakin mendekat dengan pintu. Di depan pintu itu masih tertera dengan jelas tulisan “Selamat Datang di Rumah No. 7”. Sampai saat ini pun aku tak tahu kenapa tertulis “Rumah No. 7” dibanding dengan nama keluarga.

Aku sangat gugup. Tanganku sedikit gemetaran. Tapi, tetap kubuka pintu rumah ini. Terdengar bunyi lonceng kecil yang berada di dalam rumah. Tubuhku membeku. Ku pandangi seisi rumah namun aku tak bisa menahannya lagi. Kepalaku refleks langsung menunduk. Sungguh, aku tak tahan. Kakiku lalu terjatuh sendiri ke lantai, kedua tanganku mengepal, dan mataku mengeluarkan air mata sedikit demi sedikit.

Tiba-tiba saja aku ingat sesuatu yang terjadi di sini. Saat itu aku memang bodoh dan tak bisa berpikir panjang lebar. Pikiranku sempit. Ku ingat saat aku sedang mencoba mengiriskan pisau di lengan. Aku selalu berpikir untuk mengakhiri hidupku karena terlalu sering merasa sakit. Dan mereka selalu datang. Mereka terus mengucapkan hal-hal yang pada awalnya aku anggap tak membantu. Sungguh. Aku muak mendengarnya.

“Kamu layak dicintai.”

“Tenanglah. Ayo lupakan hal-hal sedih bersamaku.”

“Hey, masih ada hari esok. Ayo kita coba bersama ya.”

Dan masih banyak kalimat memuakkan saat itu.

Aku bangun dari jatuhku sambil mengusap air mata. Aku menyisir ruangan dan berjalan menuju ruangan besar yang berisi banyak buku. “Kamu harus banyak baca buku buat isi waktu luang.” Aku sangat ingat ucapannya. Percis seperti itu sambil tersenyum dan membaca buku dengan terduduk di sofa putih itu. “Uh, aku ngantuk kalo baca buku.” jawabku yang memang selalu merasa malas bahkan hanya dengan menyentuh buku saja.

Ah, aku merindukannya.

Lalu, aku berjalan ke ruangan sebelah. Di sana ada kasur besar dan komputer di sebelahnya. Ternyata posisinya belum berubah. “Hey, tolong ketuk pintu jika ingin masuk. Aku sedang bekerja.” Aku ingat juga ucapannya sambil memasang wajah ketus. “Kerja atau tidur?” Balasku. Menyebalkan memang. Dia selalu mengatakan bekerja tapi saat aku masuk ke ruangannya untuk memanggilnya makan, dia malah asyik memejamkan mata dan meringkuk di sebelah kanan bagian kasur.

Ah, aku merindukannya juga.

Aku berjalan ke dapur. Ruangan yang tidak pernah sepi dan selalu berbau masakan enak. Aku masih bisa mendengar celotehan-celotehan seperti:
“Kamu harus banyak makan.”
"Ini yang kamu namakan memotong bawang bombay?"
“Sini kuajari caranya memasak.”
“Kamu juga suka kan makanan pedas?”
“Ah! Jauhkan masakan yang pedas ini!”
“Dimana ikan hasil pancingan kami?"
Dan banyak celotehan lainnya yang masih bisa kudengar meskipun sedang tidak ada siapa-siapa sekarang ini.

Gila! Aku menjadi semakin merindukan mereka.

Aku juga masih ingat dengan jelas. Di ruang tengah, kami berdebat hebat. Mereka berkata aku egois. Egois karena tidak mau mendengarkan perkataan mereka dan egois pada diriku sendiri. Mereka bilang, aku tak penah memikirkan diriku sendiri. Aku heran, kenapa mereka selalu merecoki kehidupanku dengan ucapan “sok tahu” mereka. Dan setiap hari selalu begitu. Aku muak. Lalu kutinggalkan tempat ini. Ya, rumah no. 7 ini.

Tapi sekarang, aku yang berkata benci dengan angka 7, aku yang muak dengan ucapan mereka, kini menangisi mereka. Aku sangat merindukan celotehan mereka. Aku juga rindu berdebat dengan mereka. Tapi sepertinya, mereka tak akan bersamaku kembali karena keegoisanku yang meninggalkan mereka.

Kulihat foto kami bersama yang masih tertera di dinding dan aliran mata yang turun dari mataku semakin deras hingga membuat mataku menjadi kecil. Tak lama setelah itu, terdengar musik yang sudah tidak asing lagi bermain di telingaku saat bercanda dengan mereka. Musik yang bisa membuat kita menari-nari kecil sambil tertawa bersama. Tapi saat ini aku tak bisa tertawa lagi saat mendengarnya. Entah kenapa musik itu terasa sangat menyedihkan dan menyakitkan untukku. Tangisanku pun semakin pecah.

“Aku bodoh. Kenapa aku meninggalkan mereka? Aku tahu mereka sangat penting di hidupku.” Aku semakin menangis hingga tersedu-sedu.

“Hey!” terdengar panggilan yang suaranya sudah melekat di telingaku. Sepertinya, semakin menangis dan merindukan mereka, aku menjadi berhalusinasi mendengar suaranya.

"Ini benar kau, kan?" terdengar lagi suara lain yang sering memarahiku jika mencuri susu pisang favoritnya. Aku senang bisa berhalusinasi seperti ini.

"Kau kembali?" suara apa lagi ini, Tuhan? Aku tak masalah jika memang aku harus terus mendengar suara-suara yang selalu aku rindukan itu, meskipun hanya halusinasiku.

Kurasakan sentuhan yang ada di bahuku. Aku tak berani menoleh. Entah kenapa halusinasi ini menjadi terlalu menakutkan untukku. Tak lama ada beberapa kaki yang ada di hadapanku. Aku menjadi gugup dan tubuhku bergetar. Perlahan aku naikan kepalaku dan aku tercengang dengan apa yang kulihat. Senyuman itu. Iya, senyuman ramah mereka. Mereka benar-benar tepat ada di depanku.

Aku yang sedari tadi menangis menjadi semakin menangis kuat sambil menundukkan kepala. Kurasakan ada yang mendekat dan terasa hangat. Mereka mendekap dan memelukku. Aku sangat suka kehangatan ini.

“Aku tahu kau pasti akan kembali.”

“Aku tahu rumah no. 7 ini tetap jadi yang terbaik buatmu bukan?”

“Selamat datang kembali.”

Ucap mereka secara bergantian.

“Maaf... ternyata aku sangat menyukai rumah ini. Rumah No. 7.” Ucapku sambil sesenggukan.

“Ya, kami tahu.” ucap mereka bersamaan.

Tak apa. Sejauh dan selama apa pun kamu pergi, saat kamu merindukan rumah, dia akan tetap ada di sana menunggumu kembali. Bersama kenangan dan juga momen baru yang akan dibuat kembali. Sekali rumah, akan tetap menjadi rumah, bukan?

Fin.

You May Also Like

0 komentar

Halo semuanya, silakan tinggalkan jejak disini ya :) tolong jangan SPAM atau komentar yang berhubungan dengan SARA. Thanks :)