Tali, Pisau, Ruangan dan Senyuman

by - Monday, May 27, 2019



"Bawakan aku tali yang panjang itu!"
Rasanya, aku sering mendengar kalimat itu. Alih-alih untuk menggantungkan diriku di atas sana, mereka lebih memilih untuk mengikatnya dengan kuat di sekujur tubuhku. Aku hanya bisa diam dan tersenyum. Mereka pun ikut tersenyum sambil berkata "kami sangat menyayangimu". Dan lagi, aku tersenyum mendengarnya. Seharusnya aku senang dan bangga mendengar begitu banyak orang yang berkata seperti itu. Mungkin tak sebanyak para artis yang sering mendengarnya dari para penggemar. Bisa dihitung jari. Namun, cukup banyak untukku.

Aku berjalan dengan ikatan tali yang sangat kuat sambil terus tersenyum dan kadang ikut tertawa mendengar ocehan orang-orang di sekelilingku. Aku bisa bergerak ke sana ke mari sesukaku meski dengan ikatan tali ini. Aku bekerja dengan ikatan tali yang kuat ini. Melihat komputer dan tulisan-tulisan yang memusingkan untukku dan tentu saja dengan senyuman manis itu.
Aku sangat senang berjalan, berlari dan kadang ingin terbang meskipun aku tau itu hal yang sangat sulit. Aku kadang menyombongkan diri karena adanya ikatan tali yang kuat ini. Dan banyak pula yang berkata "kamu beruntung."

"Tentu saja!" aku mengatakan itu dengan rasa bangga yang cukup aneh. Sambil memikirkan mereka yang tersenyum saat mengikat tali ini.

"Apa tak risih dengan ikatan talinya?" tanya seseorang.
"Ya! Tak apa! Aku sudah terbiasa." jawabku sambil tersenyum.
"Apa kamu yakin? Lihat bercak merah di sekujur tubuhmu." ujarnya sambil menunjuk tubuhku.
Aku menunduk melihat semua bercak merah di tubuhku akibat tekanan dari tali yang sangat kuat ini. Aku berpikir sejenak. Lalu mengingat kembali senyuman mereka dan kalimat "kami sangat menyayangimu."
"Iya, aku yakin!" jawabku dengan tegas.
"Tapi itu menyakitkan, bukan?" tanyanya lagi.

Jika ditanya bagaimana rasanya selalu bersama dengan ikatan tali yang kuat ini, sebenarnya sangat menyakitkan. Sungguh. Aku ingin bernafas sejenak, tapi tali di leherku menjerat dengan kuat. Aku ingin mengembangkan dada dan perutku saat bernafas, tapi tali ini seperti melapisi tubuhku. Aku sesak setiap saat.

"Ya, menyakitkan. Tapi, tak apa. Mereka akan senang dan tersenyum denganku jika seperti ini!". jawabku.

Orang itu terdiam. Tak bicara sepatah kata lagi. Lalu dia pergi meninggalkan aku yang kebingungan dengan pertanyaannya. Aku masih di tempat yang sama sambil memikirkan beberapa pertanyaannya. Aku menghembuskan nafas. Ya, sambil sedikit menitikkan air mata.

Selang beberapa saat, orang itu kembali dengan membawa sesuatu yang cukup tajam. Dia melihatku dan memberikan barang itu. Aku mengambilnya dan bertanya "untuk apa?".

"Kamu tau betul keadaanmu yang sebenarnya. Saat tali itu terlalu kuat, kamu bisa menggunakan pisau tajam ini. Terserah mau kamu apakan." dia berkata sambil menatap kosong melihatku. Ya, barang yang dia bawa itu pisau. Kulihat sepertinya pisaunya sudah diasah.

"Mereka menyayangimu. Lalu, bagaimana denganmu?" dia bertanya seperti itu.
"Aku tak tau." jawabku singkat.
"Sekarang semuanya terserah kamu. Ingat ucapanku, saat tali ini sudah terlalu mengikat sampai kulitmu hampir keluar, kamu bisa gunakan pisau ini. Jangan pernah lepas pisaunya."

Dia pergi. Dia pergi begitu saja tanpa menjelaskan apa-apa lagi.

Akhirnya, aku selalu membawa pisau yang tajam itu kemana pun aku pergi bersama dengan ikatan tali yang masih erat di tubuhku. Namun, pisaunya hanya kupegang tanpa pernah kugunakan. Aku sering melihatnya di tanganku. Aku hampir selalu menggunakannya jika tali yang mereka ikat terlalu kuat. Tapi, aku merasa senyuman dan kalimat itu lebih penting untukku dibanding apa pun.

Sampai suatu hari, tali yang berada di leher dan kedua tanganku diikatkan dengan sangat kuat. Lebih kuat dari biasanya. Sumpah. Aku merasa tak bisa bernafas sedikit pun. Kulit leher dan tanganku pun berubah menjadi lebih merah hingga keluar darah. Rasanya benar-benar menyakitkan dan membakar hampir sekujur tubuhku. Aku lelah. Aku terus bersama ikatan tali itu tapi terus menangis.

Kulihat pisau yang ada di genggaman tanganku.
"Apa aku harus menggunakan ini saat ini? Lalu bagaimana dengan senyum dan kalimat itu?" tanyaku pada diri sendiri.

Tapi aku sudah tidak tahan dan tidak peduli lagi dengan senyuman itu. Ku genggam kuat pisau itu dan kuayunkan ke dekat tali yang mengikat seluruh tubuhku. Ku mulai dengan tali yang ada di leherku. Kugores pisau dan talinya dengan kencang. Kulakukan berulang-ulang hingga talinya terlepas. Lalu aku berpindah ke tali yang ada di tanganku. Talinya terlepas.

Aku terdiam dan melihat lagi ke pisau yang tajam itu.
"Apa harus kulanjutkan ke tubuhku langsung?" aku bertanya lagi dengan diri sendiri.
Aku berpikir keras. Tapi, untuk apa kulakukan itu? Entah kenapa, rasanya sudah cukup lega hanya dengan melepaskan ikatan tali yang selama ini mengikat tubuhku dengan kuat.
"Tidak! Cukup lepaskan talinya saja! Aku bisa bernafas!" jawabku kepada diri sendiri.

Memang, tak semua tali itu bisa kulepaskan langsung saat itu juga. Tali yang mengikat tubuh dan kakiku rasanya lebih berat untuk dilepaskan.

"Kamu tau, aku lebih menyayangimu dibanding apapun." begitu katanya sambil tersenyum.
"Iya, aku tau." jawabku.
"Terima kasih kamu masih mempertahankan tali itu." ucapnya.
Aku hanya tersenyum.

---

Bekas jeratan tali di leher dan tanganku benar-benar luar biasa. Tak bisa kuhilangkan walau dengan cara apapun. Aku bahkan tak menangis walau aku tau rasanya sangat perih. Lecet, merah, berdarah, kulit hampir mengelupas. Semuanya terjadi di tubuhku.

"Kamu menggunakan pisau yang kuberikan?" tiba-tiba seseorang bertanya. Aku melihatnya dan dia adalah orang yang memberikanku pisau.
"Iya. Kamu lihat leher dan tanganku? Aku berhasil melepaskan talinya!" jawabku antusias.
"Tapi kamu tidak terlihat baik. Lihat luka di tubuhmu! Tidak kau obati?" tanyanya lagi.
"Aku sudah mencobanya. Tapi, ternyata lukanya sulit hilang. Benar-benar berbekas dan aku bisa merasakan sakitnya setiap hari." jawabku sambil menjelaskan keadaan yang sebenarnya.
"Hm, ayo ikut aku!" ajaknya sambil menarik tanganku. Aku tak menolak sedikit pun dan bahkan tidak bertanya akan dibawa kemana. Aku hanya terus mengikutinya melewati banyak belokan.

"Sampai. Aku harap kamu bisa mengobati lukamu di sini." ucapnya sambil berhenti di depan pintu.
"Terim--"
"Tak usah berterima kasih. Oh iya, kamu tau kenapa aku tak bertanya soal tali yang masih ada ditubuhmu? Aku tau tali yang itu lebih sulit untuk dilepaskan. Bertahan ya. Aku membawamu ke sini karena mungkin saja luka yang ada di leher dan tanganmu bisa sedikit terobati. Perlahan saja ya. Ambil saja pisauku itu, suatu saat kamu akan membutuhkannya lagi. Baik-baik ya di sini."

Belum sempat mengucapkan terima kasih, dia sudah pergi lagi. Selalu seperti itu. Lalu kulangkahkan kakiku ke depan pintu dan membukanya. Kulihat ada beberapa orang di dalam ruangan itu. Mereka tersenyum dan menyapaku. Aku duduk di pojok ruangan sambil mendengarkan alunan musik yang berputar. Mereka melihatku dan mengajakku mengobrol. Aku tak begitu mengerti dengan apa yang dikatakan mereka tapi yang aku yakini mereka membuatku merasa lebih baik hanya dengan mendengar ucapan mereka.

Dan, entah senyuman mereka asli untukku atau tidak, aku merasa sangat senang. Mereka secara perlahan membantuku mengobati luka yang ada di leher dan tanganku. Tidak sembuh memang. Tapi aku bisa kembali tersenyum dan tertawa sedikit demi sedikit. Mereka sering mengajakku tertawa dan aku pun ikut tertawa. Mereka juga memberikan banyak hal yang belum pernah kumiliki sebelumnya.

Aku sangat berterima kasih dengan mereka hingga sering kembali ke ruangan itu untuk menemui mereka. Rasanya sangat melegakan.

Yang aku tak mengerti, mereka yang mengikatkan tali di sekujur tubuhku selalu berbicara omong kosong mengenai mereka yang ada di dalam ruangan itu. Mereka seolah tak peduli bahwa aku benar-benar merasa lebih baik berada di ruangan itu. Sebenarnya, apa yang mereka pedulikan? Aku atau tali yang ada di tubuhku? Aku tak pernah tahu.

---

Aku tak tahu siapa yang benar-benar menyayangiku. Entah itu mereka, diriku sendiri, seseorang yang memberikan pisau atau bahkan tali yang panjang itu juga menyayangiku hingga selalu berusaha mengikat dan mencekikku. Sampai saat ini, aku hanya masih mempertahankan tali yang ada di tubuh dan kakiku. Aku masih tak tahu bagaimana cara melepaskannya. Walau pun aku tau, aku sangat muak dengan itu.

Rasanya sangat menyakitkan.

Apa mereka tahu itu?

Aku menyayangi mereka. Ya, bilang saja aku sangat mencintai mereka. Benar. Tapi terkadang, rasanya sangat menyakitkan dan muak secara bersamaan. Aku akan bilang, aku sangat ahli menggunakan topeng di depan mereka. Topeng yang kugunakan sangat manis. Tapi rupa asliku tak semanis itu.

Selesai.

You May Also Like

0 komentar

Halo semuanya, silakan tinggalkan jejak disini ya :) tolong jangan SPAM atau komentar yang berhubungan dengan SARA. Thanks :)